Each page brings you to knows Sociology further

Facebook
RSS

Fundamentalisme Agama Picu Konflik Sosial

-
Mentari


A.  Latar Belakang
Keanekaragaman masyarakat dunia bukan hanya dalam keanekaragaman ras, suku, budaya tetapi juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, dapat dilihat permasalahan beberapa waktu yang lalu menguatkan anggapan bahwa agama menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik antar umat beragama. Ketegangan ini antara lain disebabkan karena umat dari salah satu agama seringkali memonopoli kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap agama lain tidak benar atau salah. Selain itu, sering kali umat agama tertentu merasa paling benar sendiri sehingga tidak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan bersikap toleran terhadap agama lain. Sikap demikian inilah yang membawa implikasi adanya keberagaman yang tanpa peduli terhadap keberagaman lain.[1]
Para Sosiolog yang meneliti agama menganalisis hubungan antara masyarakat dan agama, serta peranan yang dijalankan agama dalam kehidupan masyarakat. Mereka tidak berupaya untuk membandingkan salah satu agama lebih baik daripada agama yang lain. Agama merupakan suatu fenomena yang berkaitan dengan kepercayaan yang  cenderung bersifat abstrak. Namun dari keabstrakannya inilah, masing – masing umat agama mengklaim kebenaran ajaran yang dianutnya lebih benar dibandingkan dengan ajaran lain. pengklaiman seperti itu dapat memicu konflik yang akan terjadi antar umat beragama.

B.  Rumusan Masalah
1.      Mengapa umat suatu agama dapat bersikap fundamental?
2.      Apa yang menyebabkan sikap fundamental cenderung anarki?

C.  Pembahasan
Sebagaimana seperti salah satu fungsi dari agama yang dikemukakan oleh Thomas F. O’Dea yaitu agama menyajikan dukungan moral dan sarana emosional, pelipur lara, dan rekonsiliasi disaat manusia menghadapi ketidakpastian dan frustasi, agama telah memberikan jawaaban atau pertanyaan yang membingungkan mengenai makna kehidupn yang sebenarnya[2]. Agama mendorong adanya solidaritas sosial dengan mempersatukan orang beragama tertentu dalam suatu komunitas yang memiliki perspektif yang sama. Namun dewasa ini yang terjadi dalam masyarakat terjadi pengelompokan yang cenderung tertutup untuk membaur dengan masyarakat dengan agama berbeda dalam kehidupan masyarakat.
Kesenjangan antar umat beragama sebagaimana anggapan yang telah dikemukakan, yaitu dikarenakan suatu umat memonopoli kebenaran dari ajaran agamanya. Tindakan memonopoli inilah yang membuat ruang toleransi kian menyempit, karena dengan monopoli kebenaran ajaran ini menutup keterbukaan untuk ajaran lain. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Amerika Serikat, tragedi teror WTC 11 September yang aksi kejahatan tersebut mengaku – ngaku atas nama Tuhan. Dan karena peristiwa ini lah, kesenjangan antara Muslim dengan Amerika (mayoritas Yahudi dan Kristen) mengalami konflik. Tidak satupun diantara para teroris ini mewakili arus utama agama mereka, tetapi memang mereka melakukan kekerasan dengan alasan agama. Berikut adalah lima unsur yang tampaknya dimiliki bersama oleh para teroris[3] :
·      Individu mempercayai bahwa mereka sedang diserang. Kekuatan jahat berniat menghancurkan hal – hal yag baik dalam dunia mereka (Agama, cara hidup)
·      Mereka meyakini bahwa Tuhan menghendaki agar kejahatan tersebut dihancurkan
·      Mereka menyimpulkan bahwa hanyalah kekerasan yang dapat menyelesaikan permasalahan dan dalam hal ini kekerasan adalah baik
·      Mereka menjadi yakin bahwa Tuhan telah memilih mereka untuk melaksanakan tugas ini. Mereka tidak mau membunuh atau mati, tapi mereka menerima takdir mereka untuk mati di jalan Tuhan dinilai lebih berarti daripada hidup sebagai pengecut yang tidak mau bangkit membela yang benar
·      Perspektif ini dipelihara oleh suatu komunitas, suatu kelompok yang memberikan identitas pada individu.
Pada dasarnya, kelompok – kelompok yang menjadi perkumpulan orang – orang yang akan melakukan terorisme ini menyadari bahwa anggota – anggotanya banyak yang tidak menyetujui tindakan terorisme tersebut. Tetapi mereka tetap berusaha untuk meyakinkan jika tindakan tersebut harus dilakukan untuk membela kepercayan mereka. Sekali orang mendapatkan pemikiran yang tertutup ini, tidak akan terjadi diskusi yang membicarakan tentang pandangan yang bertentangan. Dan masing – masing individu yakin bahwa mereka mempunyai akses menuju pikiran Tuhan[4].
Kesenjangan antara Muslim dan agama lain terutama Yahudi dan Kristen, dari tahun ke tahun makin memanas dengan adanya tindakan – tindakan kekerasan yang terjadi dengan mengatas namakan Agama. Tindakan pemboman di Bali pun turut andil dalam pencemaran nama Islam yang otomatis di cap radikal keras oleh khalayak umum. Muslim yang bersifat radikal akan mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi atau tata nilai barat pada umumnya. Kelompok Imam Samudera menganggap dirinya melakukan tindakan tersebut karena merasa takut moral bangsanya akan menjadi buruk dengan banyaknya kemaksiatan yang ada di Pulau Dewata itu. Dengan melakukan “pemusnahan” para pelaku maksiat tersebut dianggap telah menyelamatkan moral bangsa agar tetap terjaga dari segala hal yang akan merusak akidah mereka.
Di Indonesia, agama yang mendapat label radikal oleh masyarakat adalah Islam. Sikap keagamaan seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan mereka melakukan tindakan kekerasan sampai dengan pembunuhan. Sikap militan dan intoleran tidak jarang terlihat jelas pada kaum radikalis. Munculnya gerakan keagamaan yang bersifat fundamentalis (radikal) merupakan fenomena palin penting yang turut mewarnai citra Islam Kontemporer, khususnya di Indonesia. Beberapa kelompok yang di asumsikan sebagai kelompok fundamentalis diantaranya Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain sebagainya yang cenderung dilegalkan oleh pemerintah.
Berbagai kasus konflik antar agama yang terjadi, justru tak semuanya murni karena dorongan semangat permusuhan yang muncul untuk membela agama masing-masing. Kita terjebak untuk kesekian kalinya dengan berbagai kekhilafan-kekhilafan yang tak seharusnya terjadi, seperti sikap curiga dan sebagainya, yang diakibatkan oleh konflik-konflik tersebut. Padahal, sikap curiga mencurigai itu sendiri bukanlah sikap yang akan mampu menyelesaikan permasalahan kerukunan antar umat, melainkan justru akan menambah daftar konflik horisontal. Di sini pula letak kekurangan kalangan yang sering menyuarakan sikap-sikap toleransi agama[5].
Agama dan negara mempunyai kemiripan, karena kedunya mempunyai unsur – unsur pembentuk yang sama. Masing – masing mempunyai pemimpin, warga serta simbol dan ritus. Mungkin tak banyak disadari bahwa masa pembentukan negara – bangsa, agama harus dihadapkan dengan negara. Karena itu, dari sudut pandang tertentu, agama dan negara sama – sama menjadi sumber masalah bagi kemanusiaan. Padahal seharusnya keduanya berperan memecahkan masalah kemanusiaan. Di beberapa negara, agama disamping menjadi pendorong demokrasi, juga dianggap bertanggungjawab atas munculnya fundamentalisme yang penuh dengan kekerasan[6]. Sebagai suatu institusi yang mempunyai klaim terhadap suatu kebenaran yang transenden dan absolute, agama memang selalu bisa menjadi faktor yang laten bagi bahaya disintegrasi suatu komunitas. Kebenaran yang dimiliki agama tersebut seringkali tidak dapat menerima kehadiran agama lain sebagai suatu kenyataan. Namun fundamentalisme dalam Islam, dengan memegang teguh ajaran yang ada bukan berarti organisasi – organisasi Islam menentang akan kehadiran agama lain. mereka tidak menentang, mereka hanya melakukan hal – hal yang kiranya akan mengusik kelangsungan ibadah masyarakat yang mayoritas adalah Muslim.
Jika dihubungkan dengan negara, mau-tidak mau berkitan dengan politik. Dalam semua ajaran agama, terkandung nilai – nilai fundamentalis dan “teror” didalamnya. Hal ini tidak dapat dihindari. Sejarah peradaban manusia adalah sejarah kekerasan dan pembantaian dengan cap – cap agama tadi. Bukan bermaksud rasis dan SARA, tetapi sejarah membuktikan bahwa peradaban manusia dibentuk dari pembantaian satu agama oleh agama lainnya. Karena alasan dominasi dan kepentingan untuk relasi kekuasaan[7].


D.    Kesimpulan
Memegang teguh ajaran yang ada pada agamanya merupakan salah satu landasan sikap fundamental yang ada pada umat sebuah agama. Sangat menjunjung tinggi dan tak mau ajarannya terkotori dengan paham – paham lain yang ada di sekitarnya. Namun sikap seperti ini justru mempersempit ruang toleransi antar umat beragama, karena mereka saling memonopoli kebenaran ajaran masing – masing. Dan pasti akan ada sikap menyalahkan ajaran agama lain. keadaaan seperti ini akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
Dari konflik – konflik yang terjadi, banyak diantaranya yang mengarah pada kekerasan. Hal ini dikarenakan mereka memiliki pandangan sebagai berikut :
·      Individu mempercayai bahwa mereka sedang diserang. Kekuatan jahat berniat menghancurkan hal – hal yag baik dalam dunia mereka (Agama, cara hidup)
·      Mereka meyakini bahwa Tuhan menghendaki agar kejahatan tersebut dihancurkan
·      Mereka menyimpulkan bahwa hanyalah kekerasan yang dapat menyelesaikan permasalahan dan dalam hal ini kekerasan adalah baik
·      Mereka menjadi yakin bahwa Tuhan telah memilih mereka untuk melaksanakan tugas ini. Mereka tidak mau membunuh atau mati, tapi mereka menerima takdir mereka untuk mati di jalan Tuhan dinilai lebih berarti daripada hidup sebagai pengecut yang tidak mau bangkit membela yang benar
·      Perspektif ini dipelihara oleh suatu komunitas, suatu kelompok yang memberikan identitas pada individu.

E.    Solusi
Untuk mencairkan kebekuan yang terjadi antar umat berama, yang dapat dilakukan salahsatunya adalah dialog keagamaan. Dialog keagamaan ini diperkirakan bisa mengantarkan pemeluk agama pada corak kehidupan yang inklusif atau terbuka. Model dialog yang ditawarkan antara lain (Faisal Ismail, 1999 : 9-11)[8] :
1.      Dialog Parlementer
Yaitu dialog yang melubatkan tokoh agama di tingkat dunia. Tujuanny adalah mengembangkan kerjasama dan perdamaian antar agama tingkat dunia.
2.      Dialog Kelembagaan
Yaitu dialog yang dilakukan dengan melibatkan organisasi – organisasi keagamaan. Tujuannya untuk memecahkan  persoalan keumatan dan mengembangkan komunikasi diantara organisasi keagamaan.
3.       Dialog Teologi
Membahas persoalan – persoalan teologis-filosofis. Untuk memberikan pemahaman mengenai konsep masing – masing agama. Berusaha membangun pemahaman yang sesuai dan menghindari pandangan yang subjektif.
4.      Dialog dalam Masyarakat
Dilakukan dengan cara membentuk kerjasama dari komunitas agama yang plural dalam menyelesaikan masalah praktis dalam kehidupan sehari – hari.
5.      Dialog Kerohanian
Mengembangkan dan memperdalam kehidupan spiritual antara berbagai agama.

Perlunya meningkatkan keamanan ketika dialog berlangsung juga perlu. Karena tidak menutup kemungkinan, meskipun sedang berlangsung dialog ada beberapa oknum yang memicu munculnya pertikaian.


[1] Ajat sudrajat, dkk.2008.Din Al Islam : Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.Yogyakarta : UNY Press. Hlm 30.
[2] Ibid., hlm 30.
[3] James M. Henslin.2007.Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga. Hlm 166.
[4] Ibid,.
[6] M. Imam Aziz,dkk (ed).1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hlm vii-viii
[7] I Ngurah Suryawan. 2005.Sandyakalaning Tanah Dewata. Yogyakarta : Kepel Press. Hlm 97.
[8] Ajat Sudrajat. Op,cit. Hlm 157-159

Leave a Reply

    About Me

    Foto Saya
    Mentari
    Yogyakarta, D.I Yogyakarta, Indonesia
    Apa adanya, terungkap melalui kata.
    Lihat profil lengkapku