Each page brings you to knows Sociology further

Facebook
RSS

PERAN ORANG TUA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENJAGA POLA MAKAN SEHAT PADA ANAK

-
Mentari


Anak menempati posisi strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia di masa depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang peling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Status imunitas, diet dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada penduduk dewasa, dalam hal ini ibu atau orang tuanya (Utomo dalam Mariani, 2004). Orang tua pada dasarnya berkewajiban untuk menyajikan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi anaknya. Begitu juga dalam hal pemenuhan kebutuhan jasmani, dalam hal ini berkaitan dengan pemenuhan gizi pada makanan yang dikonsumsi sehari – hari oleh anak. Masa kanak – kanak paling sering dikeluhkan oleh orang tua adalah sebagai masa dimana anak sangat sulit untuk makan, apalagi makanan rumahan yang diracik sendiri oleh ibunya. Bahkan, terdapat banyak orang tua yang putus asa karena anaknya sangat sulit makan sehingga mereka membiarkan anak-anaknya membeli jajanan yang memang mereka sukai dibandingkan dengan makanan olahan ibunya sendiri yang menurut mereka kurang lezat. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan permasalahan gizi pada anak yang tidak tercukupi.
Berbagai jenis jajanan yang di sajikan secara menarik banyak ditawarkan oleh penjual yang diedarkan di sekolah-sekolah maupun warung-warung yang tersebar di penjuru pemukiman warga. Namun, tidak banyak masyarakat yang tahu kandungan gizi yang ada dalam makanan yang di jual belikan dan sangat laris manis dibeli oleh anak-anak. Di sisi lain, orang tua selalu memberikan uang jajan untuk anaknya ketika hendak berangkat sekolah maupun sekedar pergi bermain. Hal ini dilakukan dengan alasan para orang tua tidak tega melihat anaknya menangis ketika merengek meminta jajan karena permintaannya tidak dipenuhi. Orang tua akan merasa bersalah jika tidak dapat memenuhi permintaan anaknya tersebut, karena mereka bekerja mencari uang juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.
Selain rasanya yang lezat dan dikemas secara menarik, faktor lain yang membuat anak lebih menyukai untuk jajan dari pada makan makanan yang disajikan ibu dirumah adalah langkanya bahan makanan yang mengandung nutrisi yang baik bagi tubuh untuk diolah dan menurunnya keterampilan para ibu dalam mengolah bahan makanan menjadi sesuatu yang sehat dan menarik bagi anak-anak mereka. Moehdji (dalam Mariani) mengatakan bahwa sebagian besar kejadian gizi buruk pada anak dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara mengolah bahan makanan dan cara mengatur menu.
Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia harus selalu diupayakan untuk dicukupi dan tersedia setiap waktu di setiap rumahtangga. Pangan yang kita konsumsi di samping sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai sumber protein, vitamin dan mineral. Sebenarnya bahan makanan yang kaya nutrisi dapat dengan mudah didapatkan mengingat bahan makanan yang bergizi tidak harus mahal. Protein dan karbohidrat dapat diperoleh melalui umbi-umbian yang dapat dengan mudah tumbuh dihalaman atau kebun rumah. Kalsium dan zat besi juga bisa diperoleh dari kacang-kacangan dan sayuran hijau yang biasa ditanam dikebun-kebun milik warga.
Psikolog Universitas Indonesia, Mayke S. Tedjasaputra (dalam http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/) mengatakan, untuk mencegah kebiasaan jajan anak harus dimulai dari pola makan keluarga. Salah satu cara adalah membuat “kudapan tandingan” yang tidak kalah enak dari jajanan yang dapat dibeli di luar rumah. Hal ini sudah sangat langka ditemui pada keluarga-keluarga yang ada didalam masyarakat. Sebagian besar ibu-ibu merelakan uang mereka untuk membeli makanan jadi dengan alasan lebih menghemat waktu atau tidak sempat masak. Padahal, anak akan lebih terkontrol keamanan makanan dan gizi terjamin. Apalagi pada anak usia sekolah yang sangat membutuhkan segala makanan yang memberikan asupan gizi yang mencukupi kebutuhannya untuk beraktivitas di sekolah. Tumbuh kembang anak usia sekolah sangat bergantung pada pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam meningkatkan status gizi. Dalam kasus pada film Dilarang Makan Kerupuk, kritik yang besar bagi masyarakat adalah untuk memberikan pembinaan kepada orang tua dan anak-anak mereka mengenai pengetahuan bagaimana memilih jajanan yang sehat baik dilingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, mengingat bahwa anak-anak merupakn infestasi bangsa yang petut untuk dijaga.
Masalah keamanan pangan jajanan disekitar sekolah maupun yang dijajakan pada warung-waarung dekat pemukiman warga antara lain ditemukannya (1) produk olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) panga siap saji yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan dan ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar) mengenai pangan jajan yang aman (Arista dalam http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/). Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak jajanan yang dijual disekitar sekolah maupun warung-warung di pemukiman warga yang tidak sehat seperti tercemar bakteri patogen, menggunakan pewarna yang dilarang (Rhodamin B, dll) atau bahkan menggunakan bahan pengawet makanan (Borax, dll), dan hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar jajanan yang digemari anak-anak tersebut sangat tidak mengandung gizi. Bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan anak.
Status gizi merupakan hasil konsumsi pangan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Selain faktor konsumsi pangan dan faktor kesehatan, faktor pola pengasuhan anak juga merupakan faktor yang berhubungan dengan status gizi anak (Engle, Menon & Haddad dalam Marani, 2004).
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya. Semua faktor yang berhubungan dengan status gizi anak juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, sanitasi dan kesehatan rumah. Menurut Murniati Sulastri ( dalam Palupi, 2007), tingkat pendidikan ibu juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Hal ini disebabkan ibu yang berendidikan akan memberi motivasi, mengarahkan dan mengasuh anak. Menurut Astuti (dalam Palupi, 2007), semakin tinggi tingkat pendidikan pada umumnya, makin pula mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Dengan penghasilan yang memadahi diharapkan anggota keluarga memperoleh makanan bergizi yang relatif lebih sesuai dengan harapan.
Seseorang akan maju dan berhasil bila ditunjang dengan pendidikan yang memadahi atau baik. Demikian juga dengan pendidikan orang tua mempyunyai katan yang erat dengan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Melalui pendidikan akan di peroleh perkembangan masyarakat, sehingga dapat diduga bahwa penambahan waktu untuk mngikuti pendidikan akan menambah kesadaran satu pihak dan perkembangan dipihak lain. Apabila orang tua tidak memiliki pengetahuan atau tingkat pendidikan yang cukup baik dan luas tentang kesehatan, makanan/gizi, cara mendidik anak, cara bergaul dengan masyarakat sekitar, maupun pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dalam memberikan pendidikan kepada anak tentu juga sesuai dengan apa yang dimiliki. Namun sebaliknya jika orang tua memiliki pengetahuan atau pendidkan yang cukup tinggi ataupun baik, wawasannya luas, maka dalam memberikan pendidikan kepada anak akan baik pula sesuai dengan apa yang dimiliki.
Menurut Karyadi (dalam Maryati, 2004), pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makan. Tujuan memberi makanan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas pertumbuhan dan perkembangan. Jika asupan gizi pada anak dapat terpenuhi dengan baik maka anak pun dapat mengikuti segala kegiatan sehari-hari untuk mengaktualisasikan dirinya dan siap bersaing dengan teman sebaya pada umumnya.
Pengaruh lingkungan masyarakat juga membawa dampak pada kebiasaan untuk jajan. Anak-anak sekolah misalnya, akan merasa iri jika teman-temannya membeli jajanan ketika jam istirahat tiba namun dia sendiri tidak membelinya. Mereka akan merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain. Masyarakat mempunyai pengaruh perkembangan yang sangat besar dalam kehidupan individu. Kegiatan jajan bagi anak kadang dapat diartikan sebagai proses untuk menyamakan dirinya dengan teman-teman yang ada disekitarnya, dan sebagai ajang untuk mendapatkan teman.
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat. Awal dari masyarakat pun dapat kita katakan berasal dari hubungan antar individu, kemudian kelompok yang lebih membesar lagi menjadi kelompok yang besar orang-orang yang disebut dengan masyarakat. Jadi keluarga dapat diartikan inti dari masyarakat. Maka segala tindak perilaku dalam keluarga juga tidak dipungkiri bisa jadi adalah pengaruh dari masyarakat sekitar. Jika keluarga pada umumnya sudah membatasi jajan anak perharinya, belum tentu anak akan menuruti. Dia pasti akan terpengaruh teman-temannya yang membeli jajan lebih dari dirinya dan pasti dia akan meminta kepada orang tuanya untuk ddisamakan dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah betapa perlunya sinergi antara keluarga dan masyarakat sekitar.
Selain kandungan yang ada didalam makanan tersebut dapat membahayakan tubuh, kebiasaan jajan anak-anak dapat pula mngakibatkan konsumerisme secara tidak langsung bagi rumah tangga. Pengeluaran yang dlakukan tiap bulannya dapat dipastikan membengkak hanya karena digunakan untuk memenuhi keinginan si anak. Jika fenomena jajan anak ini dikaitkan dengan teori konsumerisme, Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebituhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar dari pada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan objek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi, dimana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat sedangkan masyarakat berada dalam subordinat kebutuhan masyarakat. Dalam pemutaran film Dilarang Makan Kerupuk, ditunjukkan bahwa pengeluaran pertahun setiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, dalam hal ini jajan (junk food) melebihi APBD daerah tempat tinggal mereka. Betapa sia-sianya uang mereka hanya terbuang begiu saja untuk membeli makanan yang menurut anak-anak mereka enak, lezat namun tidak mengandung manfaat bahkan berbahaya bagi tubuh.
Banyaknya organisasi yang ada dalam masyarakat bisa dijadikan sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan mengenai makanan atau jajanan yang sehat bagi anak. Sehingga keterampilan dalam memilih dan mengolah bahan makanan dapat dimiliki semua lapisan masyarakat. Melalui penyulihan di desa-desa saat KKN mahasiswa misalnya, materi penyampaian juga dapat sekitar bahaya jajan sembarangan, dll. Kegiatan pengajian yang rutin didatangi ibu-ibu juga cukup efektif untuk diselingi materi tersebut. Yang menjadi poin penting disini adalah bagaimana pengkomunikasian materi yang dsampaikan kepada para pendengar, sehingga mereka benar-benar memahami dan melakukan apa yang menjadi saran dari pemateri, dan warga benar-benar dapat melakukan kerja nyata setelah mendapatkan penyuluhan.Pada kegiatan PKK (atau yang serupa), selain melakukan penyuluhan juga dapat melakukan pelatihan membuat aneka kue atau makanan untuk disajikan pada keluarga. Dengan seperti ini, kemampuan ibu-ibu untuk mengolah bahan makanan akan semakin terasah dan semakin kreatif untuk mengolah bahan makan menjadi makanan yang sehat dan terjamin.
Jika perlu, dibentuk organisasi masyarakat. Sebagai organisasi yang berbasis pranata dalam masyarakat, institusi ini biasanya kuat eksistensinya termasuk pola kepemimpinannya dan dapat mengikat serta melibatkan mayoritas warga masyarakat dlam komunitas tersebut. Hal ini tentu lebih efektif karena semua lapisan masyarakat akan terliat langsung dalam berbagai kegiatan. Biasanya organisasi seperti ini bersifat swadaya dari masyarakat, sehingga mereka terlepas dari pemerintah karena tumbuh dari dalam dan atas prakarsa dari masyarakat sendiri.
Di lingkungan sekolah, pengetahuan mengenai jajanan sehat juga penting dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui praktek UKS yang ada di sekolah. Sekolah-sekolah secara berkala pasti akan mendapat pantauan dari unit kesehatan setempat (Puskesmas), dan guru berperan untuk menginternalisasikan nilai yang disampaikan agar benar-benar dipatuhi oleh para siswanya. Lalu peran sekolah, yang dapat dilakukan adalah melakukan pengawasan terhadap jajanan anak, menyediakan sarana kantin yang bersih, layak dan sehat, mengedukasi siswa tentang makanan yang aman dan sehat. Pengelola kantin juga harus memperhatikan kebersihan kantinnya, higienis dan baik sanitasinya, menghindari penggunaan zat berbahaya dalam makanannya.
Dalam keluarga, orangtua juga perlu mengawasi kebiasaan jajan anaknya, mengarahkan dan memberikan pemahaman tentang jajanan yang aman, sehat dan bergizi. Membiasakan anaknya sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah, atau memberi bekal makanan dari rumah yang bersih, sehat, aman dan bergizi. Memberikan pengetahuan atau sosialisasi mengenai makanan sehat juga menjadi kewajiban bagi orang tua agar anak dapat memilih makanan sejak dini. Mulai dari si ibu sebagai orang pertama yang menjadi lawan interaksi dari si anak, kemudian anggota-anggota keluarga lainnya dan seterusnya nanti dalam masyarakat. Proses sosialisasi yaitu proses membantu individu melalui proses belajar dan penyesuaian diri bagaimana cara hidup, bagaimana cara berpikir dari kelompok. Dari berbagai defini tentang sosisalisai, Vembriarto (dalam Khairuddin, 1985) menyimpulkan bahwa sosialisasi:
(1)  Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakat disekitarnya;
(2)  Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide, pola, nilai dan tingkah laku, serta standar tingkah laku pada masyarakat dimana dia hidup;
(3)  Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesuatuan sistem dalam pribadinya.
Apabila di implementasikan, jika keluarga terbiasa mengkonsumsi makanan rumah, sangat jarang jajan, maka secara tidak langsung si anak akan belajar kebiasaan yang ada dalam keluarga tersebut. Dan dapat dipastikan anak akan jarang meminta untuk jajan.
Jika semua elemen masyarakat sudah mengetahui bagaimana memilih dan mengolah jajanan yang baik hendaknya mereka juga dapat memilah dagangan yang akan mereka jual dan bahan yang mereka olah. Mengurangi atau membatasi penjualan makanan instan dan memperbanyak bahan makanan yang bergizi. Pengefektifan lahan yang ada dirumah-rumah warga juga membantu warga untuk dapat menanam bahan makanan yang diperlukan.

Sumber referensi:
Mariani. 2004. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan Dan Infeksi Dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-10 No. 049 Hal 564

Palupi, Sri. 2007. Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Hidup Sehat Anak, Cakrawala Pendidikan, Th. XXVI, No. 2 Hal 309
Puspitaningrum, Dwi Aulia. 2008, Ketahanan Pangan dan Peran Wanita untuk Mewujudkannya (Suatu Studi di Tingkat Rumahtangga Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta), Paradigma, Volume 12, Nomor 2 Hal 102

Citrobroto, R.I Suhartin. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara

Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahya

Anonim.  2011. Bahaya Junk Food atau Makanan Cepat Saji pada Anak (Bagian 2). http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2199139-bahaya-junk-food-atau-makanan/ di unduh pada tanggal 25 Oktober 2011
Kliniksehatmadani. 2009. Jangan Biarkan Anak Suka Jajan. http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/ di unduh pada tanggal 27
Soejadmiko, Haryanto. 2009. Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi. http://haryantosujatmiko.multiply.com/journal/item/30 di unduh pada tanggal 27 Oktober 2011

Leave a Reply

    About Me

    Foto Saya
    Mentari
    Yogyakarta, D.I Yogyakarta, Indonesia
    Apa adanya, terungkap melalui kata.
    Lihat profil lengkapku